Harga Minyak dunia bergerak stabil setelah mengalami lonjakan terbesar sejak Juli. Sentimen Pasar memanas akibat pernyataan Presiden AS Donald Trump yang semakin hawkish terhadap Rusia. Trump mendesak negara-negara NATO untuk menembak jatuh pesawat Rusia yang melanggar wilayah udara serta meminta Eropa menghentikan impor energi dari anggota OPEC+. Pernyataan ini meningkatkan risiko geopolitik dan membuat investor Minyak memangkas posisi jual.
Brent diperdagangkan di atas $69 per barel setelah naik 2,5% pada Rabu, sementara West Texas Intermediate (WTI) berada di sekitar $65. Data Pemerintah AS menunjukkan persediaan Minyak mentah turun ke level terendah sejak Januari, sehingga menambah sentimen bullish. Namun, berita bahwa perusahaan Minyak di Kurdistan Irak sepakat melanjutkan ekspor melalui pipa setelah dua tahun terhenti menambah kekhawatiran kelebihan pasokan.
Menurut Haris Khurshid, CIO Karobaar Capital LP, Pasar Minyak sedang ditarik dua arah. Penurunan stok di AS dan risiko suplai dari Rusia mendukung kenaikan harga, tetapi kembalinya ekspor dari Kurdistan memberi tekanan bearish. Ia menambahkan bahwa pernyataan Trump bisa membuat Pasar energi “terkejut” sehingga pelaku Pasar mulai memasukkan risiko geopolitik dalam harga.
Meski ada gejolak, harga Minyak berjangka tetap berada dalam kisaran sempit sejak awal Agustus. Investor masih menimbang risiko geopolitik melawan prospek fundamental yang cenderung bearish. Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan potensi surplus pasokan di akhir tahun akibat peningkatan produksi dari OPEC+ dan negara lain, terutama di Amerika.
Poin Inti:
Minyak stabil setelah lonjakan 2,5% dipicu retorika hawkish Trump terhadap Rusia.
Brent di atas $69 dan WTI mendekati $65 per barel.
Stok Minyak AS turun, mendukung sentimen bullish, tapi ekspor Kurdistan kembali menambah kekhawatiran pasokan.
Pasar terjebak antara risiko geopolitik vs potensi surplus produksi global.(ayu)
Sumber: newsmaker.id